Landasan Hukum Dalam Jurnalistik
KODE ETIK JURNALISTIK
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi
manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat
untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki
dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers
itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung
jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers
menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan
terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk
memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral
dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik
dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan
Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang
akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai
dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari
pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika
peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja
dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar,
foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara
berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian
gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan
wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk
peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan
asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and
recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan
kepada masing-masing pihak secara proporsional.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi
seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis,
dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh
wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara
sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan
foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan
nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan
mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas
korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi
pelaku kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut
diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan
belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak
menerima suap.
Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil
keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum
informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau
fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi
narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya,
menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the
record sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan
keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita
sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data
dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan
narasumbernya.
d. Off the record adalah segala informasi atau data
dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan
suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan
martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu
sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan
pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan
berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan
keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki
berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada
pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik
karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan
substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara
proporsional.
Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk
memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang
merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan
kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun
tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu
diperbaiki.
Penilaian akhir atas
pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran
kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan
pers.
Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006
(Kode Etik Jurnalistik ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan
Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat
Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik
Sebagai Peraturan Dewan Pers)
PEDOMAN PEMBERITAAN MEDIA SIBER
Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan
berekspresi, dan kemerdekaan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
PBB. Keberadaan media siber di Indonesia juga merupakan bagian dari kemerdekaan
berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers.
Media siber memiliki karakter khusus
sehingga memerlukan pedoman agar pengelolaannya dapat dilaksanakan secara
profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai Undang-Undang Nomor
40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Untuk itu Dewan Pers
bersama organisasi pers, pengelola media siber, dan masyarakat menyusun Pedoman
Pemberitaan Media Siber sebagai berikut:
1. Ruang Lingkup
Media Siber adalah
segala bentuk media yang menggunakan wahana internet dan melaksanakan kegiatan
jurnalistik, serta memenuhi persyaratan Undang-Undang Pers dan Standar
Perusahaan Pers yang ditetapkan Dewan Pers. Isi Buatan Pengguna (User Generated
Content) adalah segala isi yang dibuat dan atau dipublikasikan oleh pengguna
media siber, antara lain, artikel, gambar, komentar, suara, video dan berbagai
bentuk unggahan yang melekat pada media siber, seperti blog, forum, komentar
pembaca atau pemirsa, dan bentuk lain.
2. Verifikasi dan keberimbangan berita
a.
Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi.
b.
Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi
pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.
c.
Ketentuan dalam butir (a) di atas dikecualikan, dengan syarat:
1.
Berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat
mendesak;
2.
Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan
identitasnya, kredibel dan kompeten;
3.
Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya
dan atau tidak dapat diwawancarai;
4.
Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut
masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu
secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam
kurung dan menggunakan huruf miring.
d.
Setelah memuat berita sesuai dengan butir (c), media wajib
meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil
verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada
berita yang belum terverifikasi.
3. Isi Buatan Pengguna (User Generated Content)
a.
Media siber wajib mencantumkan syarat dan ketentuan mengenai Isi
Buatan Pengguna yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 40 tahun 1999
tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, yang ditempatkan secara terang dan
jelas.
b.
Media siber mewajibkan setiap pengguna untuk melakukan
registrasi keanggotaan dan melakukan proses log-in terlebih dahulu untuk dapat
mempublikasikan semua bentuk Isi Buatan Pengguna. Ketentuan mengenai log-in
akan diatur lebih lanjut.
c.
Dalam registrasi tersebut, media siber mewajibkan pengguna
memberi persetujuan tertulis bahwa Isi Buatan Pengguna yang dipublikasikan:
1.
Tidak memuat isi bohong, fitnah, sadis dan cabul;
2.
Tidak memuat isi yang mengandung prasangka dan kebencian terkait
dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan
kekerasan;
3.
Tidak memuat isi diskriminatif atas dasar perbedaan jenis
kelamin dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin,
sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.
d.
Media siber memiliki kewenangan mutlak untuk mengedit atau
menghapus Isi Buatan Pengguna yang bertentangan dengan butir (c). Media siber
wajib menyediakan mekanisme pengaduan Isi Buatan Pengguna yang dinilai
melanggar ketentuan pada butir (c). Mekanisme tersebut harus disediakan di
tempat yang dengan mudah dapat diakses pengguna.
e.
Media siber wajib menyunting, menghapus, dan melakukan tindakan
koreksi setiap Isi Buatan Pengguna yang dilaporkan dan melanggar ketentuan
butir (c), sesegera mungkin secara proporsional selambat-lambatnya 2 x 24 jam
setelah pengaduan diterima.
f.
Media siber yang telah memenuhi ketentuan pada butir (a), (b),
(c), dan (f) tidak dibebani tanggung jawab atas masalah yang ditimbulkan akibat
pemuatan isi yang melanggar ketentuan pada butir (c).
g.
Media siber bertanggung jawab atas Isi Buatan Pengguna yang
dilaporkan bila tidak mengambil tindakan koreksi setelah batas waktu
sebagaimana tersebut pada butir (f).
4. Ralat, Koreksi, dan Hak Jawab
a.
Ralat, koreksi, dan hak jawab mengacu pada Undang-Undang Pers,
Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Hak Jawab yang ditetapkan Dewan Pers.
b.
Ralat, koreksi dan atau hak jawab wajib ditautkan pada berita
yang diralat, dikoreksi atau yang diberi hak jawab.
c.
Di setiap berita ralat, koreksi, dan hak jawab wajib dicantumkan
waktu pemuatan ralat, koreksi, dan atau hak jawab tersebut.
d.
Bila suatu berita media siber tertentu disebarluaskan media
siber lain, maka:
1.
Tanggung jawab media siber pembuat berita terbatas pada berita
yang dipublikasikan di media siber tersebut atau media siber yang berada di
bawah otoritas teknisnya;
2.
Koreksi berita yang dilakukan oleh sebuah media siber, juga
harus dilakukan oleh media siber lain yang mengutip berita dari media siber
yang dikoreksi itu;
3.
Media yang menyebarluaskan berita dari sebuah media siber dan
tidak melakukan koreksi atas berita sesuai yang dilakukan oleh media siber
pemilik dan atau pembuat berita tersebut, bertanggung jawab penuh atas semua
akibat hukum dari berita yang tidak dikoreksinya itu.
e.
Sesuai dengan Undang-Undang Pers, media siber yang tidak
melayani hak jawab dapat dijatuhi sanksi hukum pidana denda paling banyak
Rp500.000.000 (Lima ratus juta rupiah).
5. Pencabutan Berita
a.
Berita yang sudah dipublikasikan tidak dapat dicabut karena
alasan penyensoran dari pihak luar redaksi, kecuali terkait masalah SARA,
kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban atau berdasarkan
pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers.
b.
Media siber lain wajib mengikuti pencabutan kutipan berita dari
media asal yang telah dicabut.
c.
Pencabutan berita wajib disertai dengan alasan pencabutan dan
diumumkan kepada publik.
6. Iklan
a.
Media siber wajib membedakan dengan tegas antara produk berita
dan iklan.
b.
Setiap berita/artikel/isi yang merupakan iklan dan atau isi
berbayar wajib mencantumkan keterangan 'advertorial', 'iklan', 'ads',
'sponsored', atau kata lain yang menjelaskan bahwa berita/artikel/isi tersebut
adalah iklan.
7. Hak Cipta
Media siber wajib menghormati hak cipta sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Pencantuman Pedoman
Media siber wajib mencantumkan Pedoman Pemberitaan Media Siber
ini di medianya secara terang dan jelas.
9. Sengketa
Penilaian akhir
atas sengketa mengenai pelaksanaan Pedoman Pemberitaan Media Siber ini
diselesaikan oleh Dewan Pers.
Jakarta,
3 Februari 2012
(Pedoman ini ditandatangani oleh Dewan Pers dan komunitas pers
di Jakarta, 3 Februari 2012).
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
P E R S
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
P E R S
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin;
b. bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
d. bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers;
a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin;
b. bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
d. bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang- undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang- undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERS. UU
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini,
yang dimaksud dengan :
1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.
8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. 12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.
1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.
8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. 12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah
salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi,
keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
(1) Pers nasional
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol
sosial.
(2) Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
(2) Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 4
(1) Kemerdekaan pers
dijamin sebagai hak asasi warga negara.
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Pasal 5
(1) Pers nasional
berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.
(3) Pers wajib melayani Hak Tolak.
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.
(3) Pers wajib melayani Hak Tolak.
Pasal 6
Pers nasional
melaksanakan peranannya sebagai berikut :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
BAB III
WARTAWAN
WARTAWAN
Pasal 7
(1) Wartawan bebas
memilih organisasi wartawan.
(2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
(2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 8
Dalam melaksanakan
profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
BAB IV
PERUSAHAAN PERS
PERUSAHAAN PERS
Pasal 9
(1) Setiap warga negara
Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 10
Perusahaan pers
memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk
kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan
lainnya.
Pasal 11
Penambahan modal asing
pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pasal 12
Perusahaan pers wajib
mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang
bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Pasal 13
Perusahaan iklan dilarang
memuat iklan :
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal 14
Untuk mengembangkan
pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara Indonesia dan
negara dapat mendirikan kantor berita.
BAB V
DEWAN PERS
DEWAN PERS
Pasal 15
(1)
|
Dalam
upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers
nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
|
|
(2)
|
Dewan
Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
|
|
a.
|
melakukan
pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
|
|
b.
|
menetapkan
dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
|
|
c.
|
memberikan
pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus
yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
|
|
d.
|
mengembangkan
komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
|
|
e.
|
memfasilitasi
organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers
dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
|
|
f.
|
mendata
perusahaan pers;
|
|
(3)
|
Anggota
Dewan Pers terdiri dari :
|
|
a.
|
wartawan
yang dipilih oleh organisasi wartawan;
|
|
b.
|
wartawan
yang dipilih oleh organisasi wartawan;
|
|
c.
|
tokoh
masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang
dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers;
|
|
(4)
|
Ketua
dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
|
|
(5)
|
Keanggotaan
Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan
keputusan Presiden.
|
|
(6)
|
||
(7)
|
Sumber
pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
|
|
a.
|
organisasi
pers;
|
|
b.
|
perusahaan
pers;
|
|
c.
|
bantuan
dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
|
BAB VI
PERS ASING
PERS ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan
pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 17
(1) Masyarakat dapat
melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak
memperoleh informasi yang diperlukan.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
(1) Setiap orang yang secara
melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau
menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
(1) Dengan berlakunya
undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang
berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan
fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru
berdasarkan undang-undang ini.
(2) Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.
(2) Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat undang-undang
ini mulai berlaku :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);
2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala;
Dinyatakan tidak berlaku.
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);
2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala;
Dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
Undang-undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULADI
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULADI
Salinan sesuai dengan
aslinya.
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
PR
Edy Sudibyo
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
PR
Edy Sudibyo
Ada sejumlah prinsip dalam jurnalisme, yang sepatutnya menjadi
pegangan setiap jurnalis. Prinsip-prinsip ini telah melalui masa pasang dan
surut. Namun, dalam perjalanan waktu, terbukti prinsip-prinsip itu tetap
bertahan.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers), merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan Elemen Jurnalisme. Kesembilan elemen tersebut adalah:
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses menyortir (sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita (newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme—pengejaran kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling membedakannya dari bentuk komunikasi lain.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers), merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan Elemen Jurnalisme. Kesembilan elemen tersebut adalah:
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses menyortir (sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita (newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme—pengejaran kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling membedakannya dari bentuk komunikasi lain.
Contoh kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor berdasarkan fakta yang diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka itu diadili. Sesudah proses pengadilan, hakim memvonis, tersangka itu bersalah atau tidak-bersalah. Apakah si tersangka yang divonis itu mutlak bersalah atau mutlak tidak-bersalah? Kita memang tak bisa mencapai suatu kebenaran mutlak. Tetapi masyarakat kita, dalam konteks sosial yang ada, menerima proses pengadilan –serta vonis bersalah atau tidak-bersalah-- tersebut, karena memang hal itu diperlukan dan bisa dipraktikkan. Jurnalisme juga bekerja seperti itu.
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)
Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik.
Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik. Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka.
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi
Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya “infotainment”—berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.
Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.
Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda; 4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; 5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.
4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput
Jurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap netral. Namun, ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya pada akurasi, verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi informasi.
Adalah penting untuk menjaga semacam jarak personal, agar jurnalis dapat melihat segala sesuatu dengan jelas dan membuat penilaian independen. Sekarang ada kecenderungan media untuk menerapkan ketentuan “jarak” yang lebih ketat pada jurnalisnya. Misalnya, mereka tidak boleh menjadi pengurus parpol atau konsultan politik politisi tertentu.
Independensi dari faksi bukan berarti membantah adanya pengaruh pengalaman atau latar belakang si jurnalis, seperti dari segi ras, agama, ideologi, pendidikan, status sosial-ekonomi, dan gender. Namun, pengaruh itu tidak boleh menjadi nomor satu. Peran sebagai jurnalislah yang harus didahulukan.
5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan
Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.
Prinsip pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan jurnalis sendiri, dengan mengartikannya sebagai “mengganggu pihak yang menikmati kenyamanan.” Prinsip pemantauan juga terancam oleh praktik penerapan yang berlebihan, atau “pengawasan” yang lebih bertujuan untuk memuaskan hasrat audiens pada sensasi, ketimbang untuk benar-benar melayani kepentingan umum.
Namun, yang mungkin lebih berbahaya, adalah ancaman dari jenis baru konglomerasi korporasi, yang secara efektif mungkin menghancurkan independensi, yang mutlak dibutuhkan oleh pers untuk mewujudkan peran pemantauan mereka.
6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik
Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap.
Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik. Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme, yaitu: kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum yang tidak berlandaskan pada fakta akan gagal memberi informasi pada publik.
Sebuah perdebatan yang melibatkan prasangka dan dugaan semata hanya akan mengipas kemarahan dan emosi warga. Perdebatan yang hanya mengangkat sisi-sisi ekstrem dari opini yang berkembang, tidaklah melayani publik tetapi sebaliknya justru mengabaikan publik. Yang tak kalah penting, forum ini harus mencakup seluruh bagian dari komunitas, bukan kalangan ekonomi kuat saja atau bagian demografis yang menarik sebagai sasaran iklan.
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan
Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita, jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang serius dan yang kurang-serius, dalam pemberitaan hari mana pun.
Singkatnya, jurnalis harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan orang untuk memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, dan memikat. Dalam hal ini, terkadang ada godaan ke arah infotainment dan sensasionalisme.
8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional
Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif.
Dengan mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuatan peta, kita melihat bahwa proporsi dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Kita juga terbantu dalam memahami lebih baik ide keanekaragaman dalam berita.
9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka
Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.
Agar hal ini bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting untuk memenuhi semua prinsip jurnalistik. Gampangnya mereka yang bekerja di organisasi berita harus mengakui adanya kewajiban pribadi untuk bersikap beda atau menentang redaktur, pemilik, pengiklan, dan bahkan warga serta otoritas mapan, jika keadilan (fairness) dan akurasi mengharuskan mereka berbuat begitu.
Dalam kaitan itu, pemilik media juga dituntut untuk melakukan hal yang sama. Organisasi pemberitaan, bahkan terlebih lagi dunia media yang terkonglomerasi dewasa ini, atau perusahaan induk mereka, perlu membangun budaya yang memupuk tanggung jawab individual. Para manajer juga harus bersedia mendengarkan, bukan cuma mengelola problem dan keprihatinan para jurnalisnya.
Dalam perkembangan berikutnya, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan elemen ke-10. Yaitu:
10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.
Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme. ***
sumber
: hukum.unsrat.com\
Sumber utama:
Bill Kovach & Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers.
Bill Kovach & Tom Rosenstiel. 2001. The Elements of Journalism. New York: Crown Publishers.
Komentar
Posting Komentar