UTS ONLINE JURNALISM (FEATURE PERJALANAN)
Menikmati Indahnya Alam Indonesia "Curug Seribu"
Sejauh ini, trekking menuju Curug Seribu merupakan
perjalanan tergila yang pernah saya lakukan. Perjalanan menggoda adrenalin yang
menuntut keberanian lebih dari pada biasanya juga kesiapan fisik yang prima.
Perjalanan yang saya dan Miftah lakukan dengan persiapan ala kadarnya.
Bukan dengan sengaja kami lakukan perjalanan ini dengan
percaya diri tanpa persiapan yang matang. Pasalnya, saya tidak menemukan satu
artikel pun yang memberi informasi tentang betapa beratnya jalur trekking yang
akan kami lalui. Jadilah kami pergi rekreasi hari itu dengan persiapan seperti
akan bertamasya ke tempat curug yang biasa.
Curug Seribu merupakan salah satu destinasi yang berada di
kawasan wisata Gunung Salak Endah (GSE) Bogor. Setidaknya, ada 5 (lima)
destinasi air terjun yang bernaung di kawasan GSE ini. Menurut info yang saya
dapat di internet, Curug Seribu merupakan yang terindah di antara ke empat
curug lain. Memiliki ketinggian mencapai 100 meter dengan debit air yang sangat
besar. Artikel itu hanya berujar bahwa Curug Seribu merupakan yang “paling
indah”. Tidak ada kata “paling menantang jalurnya” atau “paling berbahaya”. Dan
dua kata “paling indah” itu sudah cukup untuk menghipnotis kami, menjadikan
Curug Seribu sebagai sasaran utama wisata hari itu.
Perjalanan menuju tempat wisata itu kami lalui dengan mengendarai sepeda motor sekitar 2 jam setengah dari Jakarta menuju Bogor. Setibanya di pintu masuk curug, kami diminta untuk mengisi buku
tamu dan membayar tarif masuk sebesar 10 ribu per orang. Tanpa karcis seperti
ketika memasuki pintu gerbang utama yang juga bertarif sama. Oleh petugas yang
sepertinya warga lokal, kami diberi tahu untuk tidak menghiraukan police line
yang terbentang di sekitar lokasi curug. “Lewatin aja,” ujarnya. Dengan kata
lain mungkin si petugas ingin bilang: Nggak usah takut. Police linenya cuekin
aja. Nggak ada apa-apa kok. Aman.
Kira-kira seratus
meter setelah pintu masuk curug, kami dicegat palang melintang yang menghalangi
jalan. Di dekat palang ada papan bertuliskan “Untuk sementara lokasi wisata
Curug Seribu ditutup untuk umum.” Palang itu nggak sepenuhnya menghalangi
jalan, sih. Kami tetap bisa lewat dan melanjutkan perjalanan.
Mulanya jalur yang kami lewati berupa jalan setapak mendatar
yang terapit hutan di kiri dan kanan. Selang berpuluh meter kemudian, jalurnya
berangsur menurun. Semakin jauh langkah, semakin terjal jalurnya. Tingkat
kemiringan jalan pun semakin menggila. Kadang jalurnya berupa tumpukan batu
centang-perenang yang rawan longsor. Kadang berbentuk undakan dengan ketinggian
dan kemiringan yang bikin deg-degan.
Ruas jalur pun semakin menyempit hingga cuma bisa dilalui
oleh satu orang. Banyaknya bebatuan yang ditumbuhi lumut membuat jalur menjadi
licin hingga kami harus ekstra waspada dan hati-hati kala melangkah. Terpeleset
sedikit saja bisa fatal akibatnya karena kini di samping kanan kami adalah
jurang tanpa pagar.
Tiap kali berselisih dengan pejalan lain saya selalu
bertanya apa masih ada orang di bawah? Tiap kali yang saya maksud tidaklah
banyak. Hanya sesekali tiap beberapa ratus meter. Dan hanya beberapa kali
sepanjang perjalanan karena lokasinya memang sangat sepi. Mereka pun selalu
mengingatkan agar kami berhati-hati dengan kondisi jalan yang sangat licin.
Meski demikian, kondisi jalan yang semakin menggila tidak
lantas menyurutkan langkah. Gurauan dan celetukan ngalor-ngidul terus kami
lontarkan di sepanjang perjalanan demi mengusir rasa takut yang diam-diam mulai
merambat.
Dan rasa takut saya pun akhirnya membuncah kala tiba-tiba
hujan mengguyur hutan dan menderas dengan cepat. Jalan batu berlumut terasa
semakin licin. Medan terasa semakin mengancam. Langkah pun semakin payah karena
sekarang kami harus berpayungan supaya tidak menggigil kedinginan karena basah.
Tentu saja membawa baju ganti nggak terpikirkan sama sekali.
Kami kembali berselisih dengan pejalan yang bergerak
menjauhi area curug. Mereka menghimbau agar kami berbalik arah saja karena
sangat berbahaya berada di area curug saat sedang turun hujan. Huahh.. Sudah
sejauh ini melangkah, melewati medan yang demikian parah, masa mau berbalik
arah gitu aja?! Gemuruh air terjun juga sudah mulai terdengar. Kami hampir
sampai. Sayang banget kalau harus putar arah.
Setelah menempuh lintasan sejauh 1 kilometer, hampir satu
jam lamanya, akhirnya kami sampai di tepi tebing tempat kami bisa dengan
leluasa memandang keindahan Curug Seribu. Disanalah kami menemukan police line
yang dimaksud oleh petugas di pintu masuk tadi. Police line itu membentang
mengelilingi tepi tebing.
Tepat di bawah tebing menghampar sungai dengan bebatuan
besar berwarna merah bata beserta kolam, yang sepertinya sangat dalam, tempat
air terjun menghujam. Sangat tidak disarankan untuk berenang di bawah
curahannya. Hujaman air terjun yang begitu dahsyat sepertinya akan membenamkan
tanpa ampun siapapun yang mencoba menantangnya. Riuh gemuruh air terjun yang
terdengar menggelegar sudah cukup untuk memperingatkan kami agar tidak nekat
berada dekat-dekat dengan kolam.
Tapi, mana bisa puas, sih, kalau hanya menikmati pesona
Curug Seribu dari tepi tebing?! Penasaran ingin mencicipi kesegaran airnya,
akhirnya kami pergi menuruni tebing, mencapai sisi sungai yang cukup aman.
Lokasinya cukup jauh dari kolam curug.
Puas berbasah-basahan, kami lantas berdiri di atas batu yang
cukup tinggi dan besar yang tersebar di aliran sungai. Melihat lebih dekat ke
segala penjuru. Memperhatikan burung jalak yang hinggap di atas batu. Memandang
sisi lain tebing yang juga mencurahkan air terjun dengan debit air yang lebih
bersahabat. Mungkin itulah sebabnya destinasi ini dinamai Curug Seribu. Karena
selain curug utama juga terdapat beberapa curug lain dengan debit air yang jauh
lebih kecil, walau tidak sampai seribu jumlahnya.
Saat sedang larut mengecap nuansa sambil menikmati bekal
yang kami bawa, seorang penduduk lokal berujar kalau air bah bisa datang
tiba-tiba. Dengan seketika. Debit air terjun yang melonjak drastis sewaktu
hujan bisa menghantam hingga ke batu tempat kami berpijak. Mendengar peringatan
itu serta merta kami kocar-kacir kembali ke atas tebing.
Hujan semakin deras mengguyur. Kami memilih melanjutkan
perjalanan kembali ke atas karena tak ada tempat memadai untuk berteduh di
sekitar tebing, di samping rasa khawatir akan kemungkinan longsor dan sambaran
petir.
Jalan batu kini terasa semakin licin. Medan yang harus
dilalui menjadi berkali lipat beratnya ketimbang waktu datang karena kini kami
mesti mendaki; menyusuri jalan setapak menanjak, berundak-undak tinggi lagi
sempit dengan tingkat kemiringan yang sinting.
Tiap sebentar kami berhenti sejenak untuk mengatur nafas
sambil sesekali mengintip ke dasar jurang. Ngeri! Sepanjang jalan saya berusaha
untuk selalu menjaga fokus pada tiap langkah kaki dan nggak berani melirik ke
atas, ke arah deret undakan yang akan dilalui. Khawatir pemandangan itu bisa
bikin lemas duluan, lalu menurunkan semangat serta energi secara drastis. 😐
Alhamdulillah, medan yang super duper berat berhasil
terlampaui. Syukurlah kami nggak sampai bertemu binatang buas. Tidak juga
mengalami hal-hal aneh berbau mistis. Selamat lahir batin tanpa cacat. Cuma
pegal yang teramat sangat aja di sekitar paha dan betis. 😕
Bagaimanapun berat dan menantangnya jalur yang kami lalui,
saya sungguh benar-benar menikmati wisata kami hari itu. Satu hal yang saya
yakini pasti, keberanian saya melonjak drastis sejak hari itu.
Kesan yang paling didapat saat perjalanan panjang itu adalah keberanian extra untuk menikmati keidahan alam Indonesia, bukan perjalanan yang menjadi kendala tetapi prosesnya ini yang akan membuat kita kepuasan batin menikmati dan mensyukuri ciptaanNya😎
Komentar
Posting Komentar